YOGYAKARTA, INTERAKINDO — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) menggelar Rapat Koordinasi Pelaksanaan Program Deradikalisasi tingkat daerah di The Malioboro Hotel Yogyakarta pada 21–24 Oktober 2025, dikutip dari Lampung.viva.co.id.
Kegiatan ini bertujuan memperkuat strategi penanggulangan terorisme sekaligus menyamakan persepsi antarinstansi terkait. Rakor dibuka oleh Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Sudaryanto, dan diikuti oleh perwakilan Satgaswil Densus 88, Kesbangpol, Dinas Sosial, serta Baznas dari seluruh Indonesia.
Mayjen Sudaryanto menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi momentum penting untuk meningkatkan sinergi dan efektivitas pelaksanaan program deradikalisasi.
“Melalui koordinasi dan komunikasi lintas lembaga, program deradikalisasi diharapkan berjalan optimal dan menyentuh sasaran yang tepat,” ujarnya.
NII Jadi Akar Terorisme di Indonesia
Dalam sesi materi, Pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan, mantan tokoh HTI Rida Hesti Ratnasari, dan peneliti terorisme Solahudin turut menjadi narasumber.
Ken Setiawan memaparkan bahwa Negara Islam Indonesia (NII) merupakan akar dari berbagai kelompok teror di Indonesia.
“Induk dari kelompok terorisme di Indonesia adalah NII. Jamaah Islamiyah merupakan salah satu pecahan dari NII,” tegasnya.
Ia menambahkan, radikalisme kini tidak hanya menyasar kalangan muda, tetapi juga merambah Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurutnya, kelompok berideologi teror seperti NII dan HTI terus bertransformasi dengan pola baru yang lebih halus.
Tren Aksi Turun, Intoleransi Justru Meningkat
Dalam wawancara terpisah, Ken mengungkap bahwa meski aksi terorisme menurun drastis hingga nol persen sejak 2023, namun intoleransi dan paham radikal justru meningkat.
“Saya prihatin, karena hingga kini masih ada diskriminasi dan intoleransi di dunia pendidikan. Padahal intoleransi adalah pintu gerbang menuju radikalisme dan terorisme,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa NII Crisis Center menerima hingga lima laporan korban NII setiap hari, yang menunjukkan bahwa infiltrasi ideologi ini masih aktif di masyarakat.
Filsafat untuk Membangun Nalar Kritis
Sebagai solusi, Ken mendorong agar program deradikalisasi tidak hanya bersifat sosial dan keagamaan, tetapi juga melibatkan pendekatan filsafat.
Menurutnya, filsafat—terutama dalam bidang etika—dapat membantu mantan teroris membangun kembali empati dan kesadaran moral.
“Diskusi filosofis melatih berpikir kritis, memahami penderitaan korban, dan mengurai akar ideologis ekstremisme. Ini penting untuk membentuk nalar yang rasional dan humanis,” jelas Ken.
Ia menegaskan, pendekatan ini bisa menjadi jembatan bagi mantan narapidana terorisme untuk kembali ke masyarakat dengan pandangan hidup yang lebih terbuka dan damai. (ril)



